26 October 2015

Mesin Potong Rambut

Sering kali aku dibuat kesal oleh kumis dan jenggotku. Hari ini dipangkas, besok lusa sudah tumbuh lagi. Dibiarkan seminggu, panjangnya kembali seperti semula. Sebulan? Kebayang dong lebatnya seperti apa. Mirip pemuka agama. Bahkan tak sedikit yang memanggilku dengan julukan teroris !

Ketimbang bolak-balik ke tukang potong rambut, aku berkeinginan membeli alat cukur sendiri.

“Gimana menurut cinta? Boleh ngga aku beli alatnya?,” tanyaku meminta persetujuan kekasihku sepulang kerja, “Toh harganya jauh lebih murah daripada pergi ke tukang potong rambut”

“Hmm? Kok bisa?” katanya datar, salah satu alisnya sedikit terangkat.

“Sekarang hitung saja! Sekali potong udah Rp 20 ribu, Rp 15 ribu buat potong rambut, Rp 5 ribunya lagi cukur jenggot sama kumis. Taruh aja harga alatnya Rp 300 ribu, berarti dapet berapa kali potong tuh?”

“Hmm, 15 kali ya?” jawab kekasihku cepat. Soal hitung-hitungan dia memang jago. Berbanding terbalik dengan otakku yang daya hitungnya pas-pasan.

“Nah! Lebih murah kan?! Apalagi aku sering cukur jenggot sama kumis. Tukang potong rambut jaman sekarang memang kurang ajar. Suka mengambil kesempatan. Perasaan dulu-dulu harga potong rambut sama cukur kumis gak pernah dibedain. Selalu satu paket” kataku bersemangat sekaligus mengeluh.

“Nanti kalau rusak, gimana? Kayak kipas angin punya kita, mereka bilang garansi 2 tahun, tapi kenyataannya, waktu diurus rumitnya minta ampun. Berbelit sana-sini. Kita kan juga gak tau cara pakainya. Belum lagi nanti karatan karena jarang dipakai. Ngga ah, terlalu beresiko”

“Ya jangan pikir rusak dulu dong, cinta itu gimana sih? Belum apa=apa udah berprasangka buruk dulu. Dimana-mana namanya elektronik biasanya masa pakainya 2 sampai 3 tahun. Nanti sekalian aku minta tolong cinta potongin rambutku”

“Hah? Ngga salah? Mana bisa aku potong rambut?”

“Walah, cuma potong gundul doang masa ngga bisa? Tangannya tinggal digerakin dari depan ke belakang, depan ke belakang, terus sampai rata. Gampang kok! Tapi ya gitu, selama itu model rambutnya gundul 3cm terus gak pernah ganti” sahutku antusias.

“Tetep aja terlalu beresiko,” katanya tak berminat.

“Jadi cinta lebih suka aku cukur di tukang potong rambut?”

“Iya”

Sejak saat itulah aku jadi malas pergi ke tukang potong rambut. Sayang uangnya. Biarkan saja mukaku ini dipenuhi bulu lebat seperti Santa Claus.

0 comments:

Post a Comment