19 October 2015

Gegara Kurang Tidur

Ketika mata kuliah aljabar linier berakhir, Santi buru-buru keluar kelas, berjalan menuju pelataran parkir dan langsung tancap gas ke kostan Anggi. Sudah seharian itu Anggi sulit dihubungi. Mulai dari telepon, sms, whatsapp sampai chat facebook, tak satupun dibalasnya.

Sesampainya di sana, Santi mendapati motor Anggi terparkir rapih di antara kendaraan penghuni kost lain. Syukurlah, setidaknya perjalanannya itu tidak sia-sia.

Tok, tok, tok, Santi mengetuk pintu kamar Anggi.

“Nggiii ... Ini Santi, Nggi ?!” kata Santi setengah berteriak, takut suaranya tak terdengar sampai ke dalam, “Nggiii ... ?!”


“Iyaaa ... Bentarrr ... Saaannn ... Sabaarrr” sahut Anggi lantang bernada cempreng. Beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki tergopoh-gopoh.

Sewaktu pintu kamar di buka, Santi spontan mendelik begitu melihat kondisi teman sekelasnya itu. Rambut panjangnya dibiarkan acak-acakan, muka kusut, kantung mata yang menghitam, mengenakan pakaian tidur yang lecek dengan aroma bau badan sedikit menyengat.

“Ya ampun Nggi ! Kamu semalem ngga tidur ?! Kamu begadang ?!” tanya Santi kaget bukan kepalang.

“He-he-he, iya San, lagi nyelesaikan tugas pemrogaman buat demo nanti malem,” kata Anggi dengan senyum lebar mengembang, “Biasa, deadline, deadline.”

“Deadline sih deadline, tapi ...” kalimat Santi terputus begitu ia menyadari seluruh isi kamar Anggi berantakan, “Bentar deh Nggi, memangnya semalem di kostmu ada gempa ?”

“Kenapa ?” Anggi langsung menoleh ke belakang, “Oh itu ? Ummm, susah dijelaskan.”

Kasurnya belum dirapihkan, segala bungkus mie berserakan di lantai, cangkir bekas kopi belum dicuci, botol-botol air minum kemasan, semua dibiarkan begitu saja. Kalau orangtua bilang “seperti kapal pecah”, kamar Anggi jauh lebih porak-poranda.

“Eh, masuk yuk ah San,” ajak Anggi mempersilahkan masuk, “Sekalian coba lihat program software hasil garapan semalem. Udah bener apa belum.”

Sebetulnya Santi malas masuk. Kamarnya berantakan begitu, bagaimana bisa kerja nyaman. Tapi ya sudahlah, biarkan saja. Pikirnya sembari membatin.

“San, mau minum apa? Aku buatin teh ya?” tanpa diminta pun Anggi sudah merebus air di dapur. “San, udah makan siang belom? Mau sekalian aku bikinin mie goreng?”

“Iya boleh,” kata Santi datar tanpa menoleh. Ia duduk di meja belajar dan langsung memeriksa program yang dimaksud.

Tak berselang lama kemudian Anggi nyeletuk, “Yaaah, San, niatnya bikin mie goreng kenapa jadi mie rebus?”

“Haaaah?! Kok bisa?! Aduhhh, Nggi, kayaknya kamu kudu istirahat dulu deh. Kepala sama badan udah mulai ngga nyambung tuh!”

“Trus ini gimana mienya? Masak dimakan? Bumbunya udah kadung larut. Kalau dibuang ya sayang” kata Anggi memelas.

“Ya udah, biarin aja, ntar aku makan,” kata Santi sambil tarik napas panjang, “Sekarang buruan mandi trus istirahat. Sejauh ini software-nya udah bagus kok. Tinggal finishing dikit.”

Selagi Anggi mandi, tergerak juga hati Santi untuk membereskan tempat tidurnya. Ia merasa kasihan sama Anggi. Paling tidak, dia sudah bela-belain begadang untuk merampungkan tugasnya.

“Nggi, kamu lekas tidur ya? Ini kasunya udah aku beresin, kamu tinggal bobok. Masih ada waktu empat jam lagi buat mata kuliah pemrogaman. Lumayan kan istirahat tiga jam ketimbang ngga sama sekali? Biar nanti pas demo software mukamu keliatan lebih segar. Sekarang aku pamit pulang dulu. Mie-nya juga udah aku makan. Pokoknya besok kalau aku sakit perut itu gara-gara masakanmu lho!” kata Santi menghibur sedikit bercanda.

“He-he-he, makasih banyak lho San. Iya deh, sampai ketemu di kelas pemrogaman kalau begitu,” kata Anggi lirih. Dia benar-benar letih hingga ubun-ubun kepala.

Kenyataannya, sampai mata kuliah pemrograman berakhir, Anggi tak kian muncul. Dia teler, tidur lelap sampai keesokan paginya baru terjaga.

Pembaca jangan tanya seperti apa hebohnya Anggi sewaktu bangun tidur.

0 comments:

Post a Comment