13 October 2015

Sakit Hati yang Sempurna

“Aku minta maaf sebelumnya kalau aku jatuh hati padanya,” katanya lirih. Seolah takut melukai perasaanku.

Apa kau bilang?! Takut melukai perasaanku?! Tak usah kau bilang aku sudah tau semua tingkah laku busukmu selama ini. Sudah basi!

Sebelum-sebelumnya, banyak temanku yang mengingatkan. Bahkan ada pula yang meminta waktu untuk bicara empat mata tentang kelakuanmu itu. Tapi berulang kali pula aku tegaskan ke mereka bahwa kabar itu tidak benar. Hanya gosip. Omong kosong belaka.

Aku terus membelamu dari hari ke hari. Menjaga agar nama baikmu tidak sampai tercoreng. Tapi nyatanya, kau tetap nekat lanjutkan kisah asmaramu itu.


“Kenapa diam? Aku benar-benar minta maaf,” katanya lagi seolah memaksaku untuk berkomentar sesuatu.

Aku tetap membisu. Diam seribu bahasa. Otak kepalaku sebenarnya sedang kacau. Bingung mau lontarkan kalimat apa yang sekiranya paling pantas untuk aku muntahkan ke depan mukamu. Apakah kalimat penuh caci maki? Ataukah aku langsung menghajarmu saat itu juga?

Tubuhku terasa panas. Amat panas. Sekujur badan rasanya seperti terbakar api cemburu. Akal sehatku nyaris hilang memikirkan kalimatmu barusan.

Aku masih tak habis pikir. Bagaimana mungkin, Zaenal, seorang teman yang sudah aku anggap layaknya sahabat akrab berani menikamku dari belakang dengan memacari kekasihku, Linda ?

Aku masih ingat. Waktu itu tengah berlangsung pelajaran ekonomi. Aku duduk di barisan paling kanan deret nomor dua dari depan. Sementara kau duduk di sebelahku persis.

Sampai jam pulang sekolah, aku terus diam. Berusaha mengontrol sisi iblisku agar jangan sampai keluar.

Zaenal terus merayuku, berharap aku melunak dan merestui hubungan mereka berdua.

Hari demi hari berlalu. Aku telah memutuskan bahwa aku tidak akan mengambil tindakan apa-apa. Senjataku hanya diam. Aku tak ingin lagi memandang wajah Zaenal atau Linda sedikitpun.

Sampai suatu ketika hilang juga kesabaran Zaenal. Sewaktu pulang sekolah, aku ditarik dan dihempaskannya ke dinding. Zaenal emosi, kenapa aku tidak memahami perasaannya sedikitpun. Dua - tiga kalimat ia ucapkan dengan lantang. Kalimatnya sama, ia meminta maaf. Tapi aku tetap tidak meresponnya.

Kami berdua jadi pusat perhatian anak-anak yang sedang berjalan menuju parkiran sepeda motor.

Tiba-tiba sebuah bogem mentah dilayangkan Zaenal dan mendarat tepat di bagian rahang bawahku. Anak-anak lain yang menonton dari kejauhan berteriak histeris.

Ajaibnya, aku diperlakukan seperti itu masih tetap diam. Secercah senyum sinis aku layangkan kepada Zaenal.

Tidak. Aku tidak ingin membalasnya sedikitpun. Aku bukan tipikal lelaki pengumbar kekuatan fisik seperti binatang. Aku biarkan dia hidup tak tenang. Menghantuinya dengan perasaan bersalah seumur hidupnya.

Satu tahun berselang, hubungan antara Zaenal dan Linda kandas. Aku yang mendengar kabar itu dari teman-temanku ya biasa-biasa saja. Aku tidak menaruh dendam kepada mereka, tapi aku tetap tidak memaafkan. Sampai salah satu diantara mereka mati pun aku tidak akan mengampuninya. Aku biarkan jiwa mereka menggantung di neraka jahanam.

0 comments:

Post a Comment