02 October 2015

Keinginan Orangtua

Handphone Budi berdering nyaring, tapi ia tidak memedulikannya. Sebuah notifikasi panggilan tak terjawab muncul di layar. Selang beberapa detik kemudian, benda yang ia letakkan di atas meja kembali berbunyi.

“Mau aku yang angkat, sayang?” tanya kekasihnya, Santi, sembari mem-pause film yang sedang dia tonton di laptop.

“Halah, jam segini yang telepon palingan juga mama, sayang. Biarin aja,” kata Budi tanpa berbalik badan. Ia sedang memasak di dapur, membuat makan malam untuk mereka berdua.

Beberapa detik kemudian Budi berubah pikiran, “Hmmm, tapi ngga papa deh cinta yang angkat. Tolong bilangin aku lagi repot masak,” katanya.


Sinta bergegas bangun dari atas tempat tidur, berjalan dan meraih handphone yang masih berdering. Ketika melihat layarnya, ternyata benar, Ibunya Budi yang menelepon.

“Hallo ? Assalamualaikum tante,” Sinta mengawali pembicaraan dengan suara ramah. Meski dia non-muslim, fasih juga melafalkan kata salam, “Iya tante, Budinya lagi sibuk di dapur. Itu lagi ngulek sambel tante, lagi mau bikin penyetan. Bosen makan di luar terus tante.”

Sejak Budi pindah kost awal bulan lalu, ia senang bukan main. Itu karena di kamar barunya dilengkapi dengan fasilitas dapur. Ada tempat buat cuci piringnya juga.

Selain aktif menulis, ia juga suka kegiatan masak-memasak. Sudah semingguan ini mereka berdua makan dari hasil masak sendiri. Selain jatuhnya lebih murah, mereka berdua juga bisa menabung untuk modal nikah tahun depan.

“Iya tante, kalau memang rezekinya, Budi mau buka usaha sendiri. Nama warungnya juga udah dapet kok tante, mau dikasih nama ‘Warung Mas Brewok’,” kata Sinta diiringi tawa kecil.

Meski percakapan antara mereka berdua tidak di speaker, tapi Budi bisa mendengar suara tawa Ibunya dengan jelas.

Tiba-tiba hati Budi terenyuh. Pasti Ibu dan Ayahnya kesepian sekali di kampung halaman, ditinggal kedua anaknya pergi rantau. Budi di Bali, sedangkan adiknya di Jepang menyelesaikan sekolah S2-nya. Bisa membuat Ibunya tertawa lepas seperti itu adalah pencapaian berarti bagi Budi. Setidaknya rasa rindu Ibunya sedikit terobati.

“Kapan Om ke Bali, tante ?”

Mendengar kalimat itu, Budi langsung membalikkan badan ke arah Sinta. “Hah ?! Papa mau ke sini ? Wah kacau nih !” sahut Budi spontan, bicara pada dirinya sendiri. Tangan kanannya terlihat masih memegang pisau dapur.

“Iya gapapa tante, ke sini aja, daripada om di sana juga nganggur ngga ada kerjaan,” kata Sinta melanjutkan perbincangan. Mendengar celotehan Budi sebelumnya, kedua mata Sinta langsung mendelik dengan alis yang nyaris beradu, kepalanya sedikit digerak-gerakkan ke kanan-kiri memberi isyarat ‘hust jangan berisik’ ke arah Budi.

Budi berbalik badan dan meneruskan memasak. Berulang kali ia berceloteh sendiri sembari memasak.

“Iya tante, salam juga buat om ya tante, Wa’alaikum Salam tante,” kata Sinta mengakhiri telepon.

“Kenapa sih kok ngga seneng kalau papa ke sini?” Sinta langsung bertanya ke Budi dengan nada ketus sesaat setelah sambungan telepon itu berakhir, “Kan bagus?”

“Cinta tau sendiri kan? Papa itu unsurnya api sedangkan aku air” Budi langsung membalikkan badan memberi penjelasan.

“Terus kenapa?”

“Yaaa ... Tiap kali ketemu papa bawaannya ribut melulu. Tapi giliran aku ngga ada aja, dikangenin, dicari-cari, ya gitu itu deh papa. Aneh !”

“Ya gapapa toh ? Namanya juga orangtua. Kan biar rame?” sela Sinta berusaha memberi pengertian.

“Rame apanya ? Adanya juga aku yang emosi” gerutu Budi.

“Sayang gak boleh begitu, tau ngga tadi mama bilang apa ke aku?” kata Sinta sejurus kemudian.

“Gimana aku bisa tau? Lha wong tadi ngga di speaker?”

“Mama bilang, papa mau cari kerja di Bali, pengen bantu kita ngumpulin modal buat nikah. Papa ngerasa punya tanggung jawab menikahkan kita. Masa iya sih mas tega ngga ngebolehin papa kerja di sini? Kasihan papa lho di sana ngga ada kerjaan. Tiap malem cari-cari mas terus. Kangen kata Mama,” kata Sinta lirih dengan ekspresi memelas.

“Lho masa mama bilang gitu ke cinta?” Budi terkejut bukan kepalang begitu mendengarkan penjelasan dari kekasihnya itu. Prasangka buruknya langsung lenyap seketika. Ia merasa bersalah telah menilai ayahnya.

“Tanya aja sendiri ke mama !” gerutu Sinta sambil mendengus sebal, “Makanya jadi orang jangan berpikiran jelek dulu!”

“Masa sih mama bilang gitu?” tanya Budi masih kurang yakin.

“Wes, mboh lah sayang, dibilangin kok malah ngga percaya!”

Buru-buru Budi membasuh kedua tangannya yang belepotan minyak dan bumbu itu lalu disambarnya handphone itu dan bergegas memencet tombol speed dial nomor empat seperti kesetanan.

“Halo Ma? Papa kapan mau berangkat ke Bali? Nanti Papa biar tidur di kamar Budi aja. Masih ada tempat kok ! Budi kangen sekali sama papa !

0 comments:

Post a Comment