22 March 2014

TUKANG SAMPAH DAN KAMPANYE

Supeno kerahkan seluruh tenaga untuk mendorong gerobak sampah warna kuning miliknya hingga melesat lebih kencang dari biasanya. Pakaian kumal compang-camping yang ia kenakan basah kuyup oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal dan otot-ototnya tampak jelas mencuat dari balik lapisan kulit hitam legam akibat terpapar sengat mentari tiap hari. Tidak ia hiraukan barang bawaan kelewat berat itu. Di benaknya, ia ingin cepat sampai di gubuk reyotnya yang berdampingan persis dengan tempat penampungan sampah, kemudian bergegas menemui istrinys, Ningsih.

“Buuuukkkk ... Ibuuuukkkkk ...” panggil Supeno setengah teriak ketika sampai di gubuknya yang amat sederhana. Sebuah bangunan rapuh, terbuat dari potongan-potongan kayu triplek tipis. Atapnya pun bolong sana sini.


“Nggihhhh Paaakkkkk ...” sahut istrinya tengah asik memilah botol plastik untuk di kilo ke pengepul esok pagi. Wanita paruh baya berkulit kusam segera berlarian mendatangi asal suara. Tak biasanya Supeno memanggil dirinya dengan nada seperti itu.

“Buk ... Buk ... Ayo cepat ke sini! Alhamdulillah, Bu! Hari ini Bapak dapat rejeki banyak!” serunya bersemangat. Air mukanya menunjukkan kegembiraan yang memuncak. Ia sambar kantong plastik hitam besar dari kait gerobak dan cepat-cepat masuk ke dalam gubuk. Istrinya mengekor penuh rasa penasaran.

“Oalaaahhh, Alhamdulillahhhhh Gustiiiiiii! Matur sembah nuwunnn” pekik Ningsih melihat beberapa kotak nasi dikeluarkan dari kantong plastik. Supeno pun tak kalah sumringah mendapati reaksi dari istrinya. Sudah dua hari mereka makan makanan yang diperoleh dari tempat sampah sekitar pemukiman kompleks. Makanan itu terasa hambar di lidah dan berbau busuk -hampir basi-. Meski begitu, mereka selalu panjatkan rasa syukur, tak pernah memandang besar kecilnya rejeki yang mereka dapatkan. “Bapak dapat dari mana makanan ini?”

“Ayo cepat dimakan, Bu. Nanti saja Bapak ceritakan. Sekarang kita makan sama-sama. Enak-enak lho Bu. Jangan lupa berdoa. Alhamdulillah doa kita didengar!” Supeno berikan nasi dan lauk utuh kepada istrinya. Sedangkan ia memilih nasi sisa yang tak habis dimakan.

“Lho kok cuma dilihat toh, Bu? Ayo cepat dimakan” tegas Supeno melihat istrinya itu hanya terdiam memandangi isi kotak nasi ditangannya. Sesekali Ningsih dekatkan hidungnya ke makanan itu. Memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak.

“Eman 'e, Pak. Buat besok aja yo?” jawabnya lirih memelas. Kedua mata letih itu berkaca-kaca menahan haru.

“Ealahhhhh, Bu. Ibu ini dikasih rejeki kok ditolak? Nda baik itu. Besok sudah ndak enak nasinya. Ayo toh, dimakan” ujar Supeno sambil mengunyah. Sebetulnya ia juga sayang dan enggan menyentuh potongan ayam bekas gigitan orang itu. Buktinya, ia lebih banyak makan nasi ketimbang lauk pauknya. Menyisakan lauk terenak belakangan.

“Nggih Pak” setelah dibujuk, dimakan juga hidangan itu perlahan. Menikmati tiap kunyahan dalam mulutnya. “Eh, iyo 'e Pak. Ueenaaakkkk yo! Pesen makanan kayak gini, pasti mahal banget yo Pak”

Untuk sejenak, indera pengecap dan perut mereka merasakan nikmat yang tak terkira. Mungkin bagi kita, hidangan itu nilainya tak seberapa. Namun, untuk mereka, sajian itu luar biasa istimewa.

Sesudah hidangan habis termakan, dengan terampil Ningsih membereskan kotak nasi. Supeno menyandarkan tubuhnya di salah satu sudut ruangan, meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal.

“Jadi gini, Bu. Tadi kebetulan Bapak lewat lapangan. Nah di sana lagi ada kampanye. Bapak pikir, pasti banyak sampah yang bisa dibawa pulang. Ya sudah, Bapak korek tempat sampah di sana. Nda tau, tiba-tiba Bapak didatangi orang berseragam kampanye. Terus orang itu kasih nasi kotakan sama nyelipin amplop. Ya Bapak terima. Nah, waktu mau pergi dari sana, kok Bapak lihat banyak kotakan nasi ngga kemakan. Ya Bapak angkut sekalian. Kan lumayan toh Bu? Nasinya juga masih bagus” tutur Supeno kepada istrinya yang terlihat serius mendengarkan kisah suaminya. “Ini uangnya, Bu. Cukup untuk keperluan sebulan ndak?” Ia serahkan amplop berisi satu lembar uang berwarna biru.

“Alhamdulillah” sahut Ningsih menyambut amplop putih dengan hati suka cita. “Uangnya cukup kok Pak. Asal Bapak ndak beli rokok banyak-banyak. Besok Ibu ke pasar beli beras sama telor nggih, Pak?”

“Iya, Bu” jawab Supeno mengiyakan.”Tapi kenapa yo Bu, mereka jadi dermawan banget sama rakyat miskin seperti kita ini cuma waktu kampanye? Habis masa kampanye, mana ada orang kaya keluar masuk pasar atau datang ke tempat kotor? Harga sembako yo ndak berubah, malah tambah mahal” Supeno menengadah setengah melamun. Ia berharap, suatu saat nanti, orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi itu dapat mengubah bangsa lebih baik. Tidak mementingkan diri sendiri.

“Ya sudah lah, Pak. Yang penting kita selama hidup berbuat baik, udah cukup. Ndak usah neko-neko seperti mereka. Banyak uang tapi mumet ya sama aja, Pak. Rejeki juga udah ada yang ngatur. Sekarang Bapak istirahat aja yo. Besok kita harus bangun pagi-pagi lho Pak” ujar sang istri seraya membantu melepaskan pakaian lusuh suaminya penuh kasih sayang dan kehati-hatian. -dap-

0 comments:

Post a Comment